Pages

SELAMAT DATANG

semoga bermanfaat untuk kita semua

Minggu, 17 Oktober 2010

Perbedaan Pendidikan Jerman Dengan Pendidikan Indonesia

Sebenarnya banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia. Dari sisi sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman, jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gymnasium,Realschule, atau Berufschule). Kalau di Indonesia, pendidikan Pra Perguruan Tinggi ada 3 macam, yaitu SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga berbeda, di Indonesia memerlukan waktu 12 tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan Tinggi, sedangkan di Jerman butuh waktu 13 tahun. Tulisan tentang Sistem Pendidikan Jerman dapat anda baca disini.

Yang ingin saya bahas bukan masalah “teknis” pendidikan seperti di atas. Saya tertarik dengan tulisan IMADE WIRYANA dalam sebuah milis tentang pendidikan di Jerman. Dia menuliskan bahwa konsep pendidikan di Jerman adalah cenderung pemerataan hak mendapatkan pendidikan. Ini berlaku untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di Jerman. Artinya secara konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada pencapaian puncak-puncak hasil pendidikan.

Dia memberikan contoh bahwa ketika hasil visa rendah, seluruh Jerman panik. Akan tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah “the best xxxx dalam lomba sains”, orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini terbalik dengan Indonesia yang sangat bangga terhadap prestasi anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di dunia.

Contoh lain adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin maju di Jerman, anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil). Beliau menjelaskan bahwa prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami. Dan lagi-lagi, ini berbeda dengan Indonesia. Orang Indonesia cenderung memiliki kebiasaan “pintar kumpul dengan pintar” dan “kaya kumpul dengan kaya”.

Melihat kondisi di atas, membuat saya tersenyum. Saya yakin kualitas pendidikan Indonesia bisa meningkat drastis. Syarat utama hanya 2 macam,pemeratan pendidikan dan penghargaan terhadap prestasi pendidikan. Itu saja. Bila kedua syarat terpenuhi, saya yakin semakin banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi pada ajang internasional dan semuaanak-anak Indonesia bisa masuk ke bangku sekolah.

Bagi Anda yang mempunyai kebiasaan mencontek dan ingin belajar ke Jerman, diingatkan untuk menghentikan kebiasaan buruk itu. Alasannya, mencontek bukan saja menipu diri sendiri, tetapi juga merusak kejujuran yang merupakan roh utama pendidikan.

Tradisi untuk mempertahankan kejujuran dalam dunia pendidikan sudah ditanamkan sejak adanya pendidikan itu sendiri. Maka, dalam pendidikan di Jerman, amat sulit ditemukan tesis, disertasi, atau skripsi yang merupakan plagiasi atau manipulasi, atau tindakan sejenisnya, atau hal lain yang tercakup dalam perilaku ketidakjujuran akademis. Itu semua disebabkan oleh upaya menjunjung tinggi kejujuran yang terkait erat dengan nilai kebenaran.

”Saya bersyukur, di sini ada peraturan yang amat keras. Mencontek, jika dianggap amat parah, bukan hanya tidak lulus, tetapi juga dikeluarkan. Semua aturan terkait kejujuran itu sudah tercantum dalam Studienordnung. Cari saja paragraf soal mencontek, akan keluar berbagai aturannya. Semua ketentuan itu sudah tercantum di sana, antara lain aturan studi dan aturan ujian. Semua sudah jelas,” kata Yohanes Bosco Djawa OCarm, pastor asal Bajawa-Flores yang menjadi mahasiswa Filsafat Teologi Sankt George di Frankfurt.

Adanya ketentuan dan dilaksanakan secara ketat membuktikan bahwa Jerman masih menghargai kejujuran, bahkan menempatkannya sebagai yang utama atau roh utama pendidikan. Bahkan, untuk membuat skripsi, mahasiswa tidak bisa begitu saja melakukan copy and paste. Mahasiswa yang melakukan itu jangan harap bisa lolos begitu saja.

Hanya untuk TK

Ihwal keharusan membayar uang sekolah, menurut Christian Dick yang asli Jerman, hal itu lebih didasarkan pada undang-undang negara bagian masing-masing. Memang, untuk pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, semuanya gratis. Artinya, pemerintah berkewajiban menyediakan sarana pendidikan, dan semua orang diberi kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Maka, pada jenjang itu, masyarakat dibebaskan dari kewajiban membayar uang pendidikan. Apalagi, Pemerintah Jerman memberlakukan kewajiban untuk sekolah bagi semua warganya. Bahkan, kalau tidak mau sekolah, polisi bisa memaksa orangtua dan anak-anaknya untuk sekolah.

”Tetapi untuk taman kanak-kanak berbeda. Selain diberi aneka pengetahuan yang terkait dengan kebutuhan anak-anak, mereka juga disediakan makanan yang sehat dan fasilitas untuk istirahat. Dengan demikian, wajar kalau anak-anak taman kanak-kanak justru diharuskan membayar. Pembayaran itu, sekali lagi, bukan untuk pendidikannya, tetapi karena harus menyediakan sarana tidur, memberikan makan, dan sebagainya,” kata Dick.

(sumber : kebebasan.wordpress.com)

Powered By Blogger